Hutan Bakau PIK (Pengalaman ke Taman Wisata Alam Hutan Bakau Pantai Indah Kapuk)
Sebenarnya ini sudah terlalu lama sampai aku lupa apa yang mau kutuliskan, tapi mumpung ingat dan koneksi internet sedang lancar. Hari itu Sabtu, 6 Februari 2016 bersama Mbak Kiki dan Firdha. Aku belum mulai masuk kuliah. Baru selesai orientasi saja dari tanggal 1 hingga 5. Nah tanggal 6 ini saatnya refreshing, hehe.
Mbak Kiki dan Firdha main ke kosku terlebih dahulu di Salemba Bluntas. Makan siang dan sholat, lalu berangkat. Kami naik busway dari halte Salemba Carolus ke Senen Central untuk transit. Dari Senen Central jalan kaki nyebrang ke halte Senen (buat yang belum tahu, halte busway Senen itu ada dua: Senen Central yang sebelahnya Atrium Plaza; dan Senen tok tapi gak pakai tok). Dari halte Senen tok, kami naik busway arah ke Harmoni untuk transit lagi. Selanjutnya dari Harmoni nunggu lamaaa banget sampe lemes kepanasan kehausan barulah akhirnya datang busway mini arah ke PIK, yang langsung penuh berdesakan. Total hanya bayar Rp 3500 saja per orang, tarif busway ke manapun asal tidak keluar dari halte.
Kami (dan banyak orang lainnya yang ternyata mayoritas tujuannya sama yaitu ke Hutan Bakau) turun di dekat Tzu Chi, sebuah yayasan Budha, ada sekolahnya juga di situ. Arsitektur bangunanya unik, keren.
(Tzu Chi. Foto diambil oleh Mbak Kiki)
Dari Tzu Chi, kami jalan kaki sedikit sampai ke pintu masuk. Gak sendirian, rame banget banyak rombongan lain yang juga jalan kaki. Harga tiket masuk untuk dewasa Rp 25.000/orang, anak-anak Rp 10.000/orang. Jika membawa kendaraan beda lagi, ada biaya masuk kendaraan.
(Jalan kaki menuju pintu masuk. Foto oleh Mbak Kiki)
Berhubung hari sudah sore, kami langsung saja mencari mushola yang ada di dalam area hutan bakau untuk sholat ashar. Musholanya bagus: ada toiletnya, tempat wudhu terpisah antara laki-laki dan perempuan, disediakan mukena, cukup luas, dan ada teras yang lebar dan nyaman. Sayangnya di teras ini ada beberapa pasang muda-mudi berduaan, kurang pantas lah ini kan terasnya mushola, masih bagian dari tempat ibadah. Tapi okelah kami berpikir positif, mungkin mereka pasangan suami-istri (walopun tetap saja kurang pantas). Selesai sholat, kami duduk santai di pojokan teras mushola cukup lama (lelah hayati setelah perjalanan berjam-jam wkwk). Teras musholanya ini berpagar kayu, dengan pemandangan luar yang bagus.
(Keren kan pemandangannya, berasa di tipi-tipi wkwk, tapi agak serem sih inget peribahasa air tenang kadang menghanyutkan, takut tiba-tiba ada buaya besar atau piranha *ngayal*)
(Suasana yang tenang, tenteram, menikmati alam yang hijau)
(Narsis tipis-tipis. Foto diambil oleh Mbak Kiki atau Firdha ya? Lupa hehe)
(Capung-capung saja menari dengan riang, apalagi hatiku?)
Setelah cukup puas duduk santai dan berfoto, kami lapar, maka melanjutkan perjalanan mencari kantin. Di sini ada kantin dengan tempat duduk yang nyaman. Tapi tidak ada makanan/minuman yang dimasak. Jadi hanya makan mi instan dalam cup dan minuman botol kemasan.
Setelah mengganjal perut, kami mengikuti orang-orang, ingin tahu ada apa lagi sih di hutan bakau ini. Pemandangannya bagus. Ada perahu untuk berkeliling, juga tempat-tempat yang memang sudah dirancang untuk berfoto dengan dekorasi yang unik.
Selanjutnya ada pos penjagaan lagi. Jika membawa kamera (kamera betulan, bukan kamera HP) akan dikenakan biaya yang cukup mahal. Biasanya yang membawa kamera adalah orang-orang yang ingin foto prewed (atau pascawed), atau fotografer dan model yang memang ada sesi foto.
(Kenapa bawa ransel di tempat wisata? Karena akan numpang nginep di Tangerang. Biasa lah cewek kan agak ribet ya harus bawa baju ganti, mukena, peralatan mandi, dsb wkwk. Foto diambil oleh Firdha)
Ada petunjuk arah yang menunjukkan arah pantai. Bayangan kami akan kata 'pantai' adalah pasir putih, ombak kecil yang bergulung-gulung, dan suara gemuruh ombak yang meneduhkan. Kami penuh semangat mengikuti orang-orang menuju arah pantai, melewati jalan setapak yang terbuat dari kayu dengan lebar kira-kira satu meter. Berjalan cepat supaya segera usai perjuangan perjalanan ini, tapi juga khawatir terpeleset atau tersandung. Apalagi ketika berpapasan dengan rombongan yang jalan dari awah berlawanan, ketar-ketir, kalau ada yang iseng nyenggol dikit saja kan bisa langsung 'njelungup'. Apa itu njelungup? Entahlah tidak ada padanan kata dalam Bahasa Indonesia yang mampu secara tepat menggambarkannya.
Setelah perjalanan yang terasa lama dan menegangkan (halah lebay), akhirnya kami tiba juga. Ternyata oh ternyata..... pantai bakau itu berbeda dengan pantai biasa. Jauh berbeda. Aku gak sanggup menggambarkannya dengan kata-kata, jadi lihat aja deh gambarnya:
(Pantai bakau)
Setelah 'menikmati' pantai yang jauh di luar bayangan, sekaligus karena senja yang sudah semakin pekat, kami memutuskan untuk pulang. Aku ngikut Mbak Kiki dan Firdha ke Karawaci, merindukan suasana di sana. Sejak itu Tangerang terkadang terasa seperti rumah kedua, tempat 'pulang' kecil-kecilan.
Demikian.
Demikian.
Comments
Post a Comment