Pengalaman Masuk Monas dan Berbicara dengan Orang Jepang
Minggu pagi, 8 Februari 2015 bersama Mbak Kiki,
Firdha, dan Mbak Cil mengunjungi Monumen Nasional (Monas). Pagi-pagi yang
mendung, kami berangkat naik bus trans, sempat oper dari bus kecil (bus biasa)
ke bus besar (bus trans yang gandeng dan lebih bagus), kalo gak salah opernya
di Dukuh Atas (gak ada hubungannya sama Dukuh Kupang lho ya wkwk). Ada hal baru
yang kulihat di bus yang kecil, yaitu sopirnya perempuan (yang menurutku keren
banget perempuan bisa nyetir bus).
Turun di Halte Monas dalam keadaan hujan. Jalan pake
payung ke tempat orang-orang jualan untuk sarapan (untung sedia payung sebelum
hujan, hehe). Setelah makan mendekat ke Monas, pagarnya (yang warna ijo) ternyata
tutup, tapi di dalamnya ada antrian panjang orang mau masuk. Pindah ke sisi
sebelah, pagarnya tutup juga. Oalah ternyata, untuk masuk ke dalam pagar harus
melewati terowongan bawah tanah yang untuk masuknya ada di sisi -waduh sisi mana
ya itu- pokonya yang ada patung warna hitam dan ada plakat bertuliskan Tugu Monumen
nasional, ini gambarnya: (sempet narsis sebelum masuk, hehe)
Sebelum melewati terowongan, ada loket untuk pembelian
tiket. Bisa beli tiket untuk ke cawan aja, bisa juga yang cawan sekaligus
puncak (tentunya kalo pake ke puncak lebih mahal). Ada 3 jenis tiket,
rinciannya kalo gak salah pelajar/anak-anak, mahasiswa, dan umum. Tentunya yang
paling mahal yang umum, Rp 15 ribu untuk ke cawan sekaligus puncak.
Setelah beli tiket, melewati terowongan, naik
tangga lalu tiba di lantai 1. Lantai 1 ini adalah tempat di dalemnya pager ijo
yang kalo dari luar keliatan ada orang antri. Di bawah lantai 1 ada museum.
Berhubung ini pengalaman pertama masuk ke dalam Monas, -kalo ke kawasan Monas
sampe luar pagar ijo pernah sebelumnya tapi gak sampe masuk- kami gak tau kalo
antrian ke puncak Monas itu panjaaaang pake banget (eh lebay ya), jadi kami gak
berpikir untuk ke puncak dulu. Kami turun ke museum yang ada di bawahnya lantai
1. Di dalem museum ada toilet, mushola, dan diorama-diorama (apa itu diorama?
Bagi yang belum tau, ini definisi diorama menurut KBBI: sajian pemandangan dalam ukuran kecil yg dilengkapi dengan patung dan
perincian lingkungan seperti aslinya serta dipadukan dengan latar yg berwarna
alami; pola atau corak tiga dimensi suatu adegan atau pemandangan yg dihasilkan
dengan menempatkan objek dan tokoh di depan latar belakang dengan perspektif yg
sebenarnya sehingga dapat menggambarkan keadaan yg sebenarnya). Jadi, di
situ ada diorama-diorama yang menggambarkan sejarah Indonesia dari abad 18 masa
penjajahan hingga masa-masa perjuangan setelah merdeka. Bagus, wah seharusnya
pelajaran sejarah zaman sekolah dulu pake diajak jalan-jalan ke museum kayak
gini ya, pikirku.
(Salah satu diorama. Gelap ya ruangannya? Emang gitu sih, jadi dioramanya aja yang terang)
(Diorama dari dekat. Di dalamnya tiga dimensi jadi nampak 'hidup')
Di bawah masing-masing diorama ada tulisan singkat sejarahnya dalam Bahasa Indonesia dan Inggris.
(Sejarah.. Bahasa Indonesia)
(Sejarah.. Bahasa Inggris)
Setelah memutari isi museum, kami naik lagi ke lantai
1 bermaksud ke puncak. Ada 2 barisan antrian ke puncak. Sekilas antriannya
terlihat tidak begitu panjang. Kami antri di salah satu barisan. Di barisan
sebelah, ada seorang ibu yang menggendong anak kecil ikut antri, lalu seorang Bapak
Petugas Monas bilang ke ibu itu, “Bu ada keluarganya kan? Mending keluarganya
aja yang ngantrikan. Ibu kan gendong anak nanti capek, ini lama antrinya bisa
sampai 3 jam.”
Waduh 3 jam ya, batinku dalam hati. Ternyata, antrian yang terlihat pendek itu hanya ilusi wkwkwk, karena ada orang-orang yang antri untuk keluarganya, jadi ya awalnya terlihat pendek tapi pas dekat pintu ada keluarganya ikut masuk antrian. Okelah mau gimana lagi, demi ke puncak Monas.
Waduh 3 jam ya, batinku dalam hati. Ternyata, antrian yang terlihat pendek itu hanya ilusi wkwkwk, karena ada orang-orang yang antri untuk keluarganya, jadi ya awalnya terlihat pendek tapi pas dekat pintu ada keluarganya ikut masuk antrian. Okelah mau gimana lagi, demi ke puncak Monas.
Tak berapa lama, terdengar suara orang ngomong di
belakang kami, “Nihon-jin desuka?”. Aku langsung noleh. Ternyata Bapak Petugas
Monas yang tadi, bertanya ke orang laki-laki di belakang kami. Orang yang
ditanya membaca buku saku dengan huruf-huruf Jepang (sepertinya buku petunjuk
tentang tempat wisata di Indonesia), sambil terpasang handsfree di telinganya, mungkin mendengarkan musik. Merasa diajak
omong, orang itu melepas handsfree di
telinganya. Sebenarnya tampilan orang itu agak menyeramkan menurutku, memakai
kaus lengan pendek dan celana pendek dengan banyak tato di lengan dan kakinya.
Sekilas tidak terlihat seperti orang Jepang, tidak se-sipit yang di film-film,
dan tentunya tidak seganteng aktor-aktor dorama, wkwkwk.
Bapak Petugas Monas ngobrol banyak dengan orang
itu, aku sengaja menyimak, anggep aja latihan listening, hehe. Bapak Petugas Monas menjelaskan banyak hal ke
orang itu seperti tempat-tempat lain yang bisa dikunjungi, menjelaskan arah,
rute angkutan umum, dan sebagainya. Lancar sekali Bahasa Jepangnya Bapak Petugas
Monas itu, aaah aku iri :(
Pengen nyoba ngajak omong orang Jepang itu, tapi
malu, takut, gak PD, aaah rasanya mendadak kosa kataku ilang semua. Bapak
Petugas Monas itu pergi, orang itu memasang handsfree
ke telinganya, dan kembali membaca buku saku. Yaah, tertutup sudah
kesempatan ngajak omong. Antrian berjalan, sekitar satu jam lebih, aku tetep
gak berani ngajak omong orang itu, orangnya tetap asik dengan bukunya, meski
sesekali melihat pemandangan sekeliling, dan aku tetep gak tenang pengen nyoba.
Berkali-kali pengen mulai nyoba, tapi gak jadi terus karena grogi, takut,
deg-degan. Akhirnya setelah berpikir panjang, aku menyimpulkan bahwa aku akan
nyesel kalo gak mencoba. Kapan lagi bisa ketemu turis Jepang, ini langka kan.
Hehe. Nekat aja wes. Bodohnya aku langsung
nyerocos aja, gak ngajak perkenalan dulu, gak tanya nama orangnya. Gak sopan ya
:(
Percakapannya juga yaaa seperti apa yang aku
takutkan: orangnya ngerti apa yang aku omongin, tapi aku banyak gak ngerti
orangnya ngomong apa. Haha. Banyak kata-kata yang gak masuk ke telingaku, cuma skip-skip gitu aja karena gak ngerti itu
ngomong apa.
A=Aku; J=Japanese.
A: Ano.. sumimasen.. Nihon-jin desuka?
J: (orangnya noleh dan melepas handsfree-nya) Hai..hai.
A: Watashi
wa Nihongo o benkyou shiteimasu.
J: Sou ka. Nihongo o hanasu koto dekiru?
A: Emm.. demo, mada sukoshi (sambil tangan
memeragakan “sedikit”).
J: Doko Nihongo benkyou suru? Gakkou ka? Daigaku?
--- ? (gak hafal kalimatnya, intinya orangnya tanya belajar Bahasa Jepang dari
mana)
A: Em.... iie.. (bingung gimana njelasinnya). In a
course. (tiba-tiba aja aku pake Bahasa Inggris, wkwkw tapi orangnya terlihat
kayak gak paham, aduh).
J: Eto.. --- nan sai desuka? (aku gak inget
orangnya nyebut "kamu" dengan kata apa, sepertinya bukan pake “anata”,
dan gak mungkin "omae" kan ya, jadi mungkin “kimi”, orangnya sendiri
menyebut dirinya pake "boku").
A: Ni juu ni sai desu.
J: Sou.. Ano.. atama no ---. Sore wa nan desuka?
(tanya yang dipakai di kepala itu apa)
A: Kore desuka? (megang kerudung, untuk memastikan)
J: Hai.. hai.. ------------------------- (kalimat
panjang, intinya pengen tau karena di sini banyak yang pake kayak gitu)
A: Eto… (berpikir keras, bingung gimana
njelasinnya)
J: Jakarta no -----? (apakah itu budaya di Jakarta?
Semacam pakaian adat?)
A: Iie.. (tetep bingung gak nemu kosa kata)
J: (mikir kemungkinan yang lain) kekkon -------- ?
A: kekkon? (memastikan pemahamanku)
J: Hai, moshika shite.. onna no kekkon -----?
(apakah itu tanda untuk perempuan yang sudah menikah? mungkin karena
kebanyakan yang pake kerudung ibu-ibu yang bawa anak kali ya jadi orangnya
ngira gitu)
A: Iie.. iie.. sore wa.. onna no musurimu. Musurimu,
moslem. (maksudku pengen bilang yang pake ini perempuan muslim)
J: Souka.. (entah orangnya paham ato uda capek dan
memilih ganti topik aja) ------- Jakarta -------- kakarimasu? (intinya tanya
apa aku asli Jakarta).
A: Iie, Surabaya desu.
J: Souka.. watashi wa Hiroshima -----.
A: (paham maksudnya, tapi berusaha mencerna kalimat
belakang-belakangnya)
J: (ngira aku gak paham atau gak tahu Hiroshima,
jadi bermaksud menjelaskan) Hiroshima wa.. mukashi-mukashi.. Amerika
------------------------------- (memperagakan bom jatuh) --- Hiroshima ---
A: Ah wakatta.. Hiroshima to Nagasaki deshou?
J: Hai hai..
A: Indonesia e hajimete ikimasuka?
J: Hai, hajimete. (dengan penekanan khas logat
orang Jepang, ah berasa di dorama wkwk tapi beda sih bukan logat Tokyo) Kinou ---
kita, soshite ashita kaeru.
A: Souka.. hitori desuka?
J: Hai, hitori desu. --- Nihon e itta koto ga aru?
(pertanyaan ini aku dengar dengan lengkap karena langsung inget materi awal
level 3, hehe)
A: Iie, mada. Honto ni ikitai, demo.. takai
deshou..
J: Hai.. hai. (sambil senyum ramah).
A: (bingung ngomong apa lagi yaa). Indonesia wa dou
omoimasuka?
J: (orangnya sempet bingung mencerna pertanyaanku,
tapi kemudian tanya) dare ---? Boku ---? (intinya tanya menurut siapa? Apa
menurutku?)
A: Hai, hai. (sambil manggut-manggut)
J: Indonesia ni, ---- wa ii. (aku gak denger
subjeknya apa)
A: (pasang wajah bingung)
J: ------ (memperjelas) ---- shitteru?
A: (geleng kepala, tetep gak paham)
J: (yaudahlah) soshite, koko ame ga futte --- (gak
inget kalimatnya, intinya tanya apa di sini emang sering hujan gini)
A: Emm, ichi gatsu desukara.. (kalimatku
menggantung, niatnya sih ngomong karena ini emang Bulan Januari lagi musim
hujan, tapi kayaknya orangnya uda paham maksudku.)
J: Nihongo wa dou omou? Muzukashii?
A: Hai, muzukashii.. demo omoshiroi. Watashi wa
Metantei Conan ga suki :D
J: Aaa Conan? Sou sou.. anime ----. (oh jadi suka
anime ya)
A: Hai.
(lupa sisanya ngomong apa, Cuma dikit habis itu
antrian maju, capek antri berdiri sesekali aku duduk di lantai, uda gak noleh
lagi ke belakang karena gak ada topik, dan orangnya kembali membaca bukunya. Percakapan
selesai gitu aja. Tanpa penutup. Aku belum ngucapin terima kasih. Ah entahlah..)
Mendekati pintu masuk, antrian jadi makin ramai
karena barisan sebelah yang sejak awal kurang rapi ada yang masuk di belakang
(barisanku), orang Jepang itu jadi jauh di belakang dan gak serombongan masuk lift-nya. Lift-nya muat untuk 11 orang aja, pantes antriannya lama. Menjelang
masuk lift, Bapak Petugas Monas
sempet ngomong ke orang Jepang tadi, “ato juppun gurai”. Setelah itu aku masuk lift, dan selanjutnya gak keliatan orang
itu lagi.
Lift naik dari lantai 1 langsung ke lantai 3
(puncak). Sampe di puncak, ternyata gak seindah yang kubayangkan, hehe.
Dikerangkeng gitu, mungkin buat keamanan sih. Udara sejuk, segar, banyak angin,
itu pas mendung jadi gak panas dan hujannya uda berhenti. Foto-foto dan
memfoto, melihat pemandangan secara langsung maupun dari teropong (ada 4
teropong di sana), duduk sebentar kemudian antri untuk turun.
Antrian turun tidak lama jika dibandingkan dengan
antrian naik, Cuma nunggu sekitar 2 keberangkatan. Dari lantai 3 (puncak), kami
diturunkan di lantai 2 (cawan). Lalu lift-nya
ke lantai 1 untuk mengangkut penumpang yang naik, begitu seterusnya.
***
Arigatou ne.. Ano Hito, wkwkwk
Ternyata, kosa kata dan materi yang diajarkan di
UPT banyak yang terpakai. Lega rasanya pernah mempraktekkan walaupun masih
kacau dan banyak gak ngertinya, hehe.
Kemarin malemnya (Jumat malam) sempat putus asa
dari Bahasa Jepang gara-gara ngecek JLPT ternyata gak lulus N4 (haha salahku
sendiri sih usahanya masih sangat kurang), eh Hari Minggu itu mendapat
kesempatan mempraktikkan yang pernah dipelajari.
Alhamdulillah..
Terima kasih banyak Anik-sensei atas bimbingannya.
Terima kasih juga untuk Sapta-sensei.
ea... yang sudah praktek.... :P
ReplyDeletehehe.. alhamdulillah :)
Delete