Filosofi Hidup dalam Curhatan Kalkulus

Bismillah,
Saya tidak akan membahas materi kalkulus atau hal2 deskriptif lainnya.
Saya hanya ingin bercerita tentang bagaimana matematika (khususnya kalkulus) menjadi sebuah filosofi hidup. Semoga bermanfaat.

Dulu sewaktu menjadi mahasiswa baru, saya tidak ambil pusing dgn kalkulus. Ada tugas ya dikerjakan sebisanya, kuis/ETS/EAS juga dikerjakan sebisanya. Cara pengerjaannya? Ya sebatas yg saya ingat, entah itu pada diktat berada di sebelah mana saya tidak peduli. Kadang2 kalau lupa caranya ya dinalar pake cara sendiri. Syukur2 deh kalau benar. Apa kalian juga gitu? Ayo ngaku :D

Hal ini berubah ketika menjadi asdos kalkulus, sekaligus menumbuhkan sebuah pemahaman.
Berawal dari keseharian ketika membahas soal di papan tulis. Mahasiswa baru biasanya sering bertanya,
Maba: "Mbak, itu kok bisa kayak gitu?"
Saya akan menjawab: "Itu sesuai definisi yg ada di awal bab sekian, silakan dicek lagi. Gimana?"

Maba: "Oh iya mbak."
atau contoh lain,
Maba: "Mbak itu dari mana caranya kok bisa ketemu gitu?"
Saya: "Wah sudah lupa ya? Itu kan dulu sudah. Ada teoremanya di bab sebelumnya, -sambil buka dikat- nah ini halaman sekian, ayo dicek. Gimana? uda paham?"
Maba: (sambil meringis) "Oh iya mbak, lupa."
atau ketika saya sedang mengatakan sesuatu -terkait materi kalkulus- mereka langsung nyeletuk, "Lho kok bisa gitu mbak? Emang boleh?"
juga pertanyaan-pertanyaan, "Mbak ini langsung diginikan tu boleh ta?" "Kenapa kok gak boleh pake cara ini?"

Ada juga ini:
Maba: "Mbak, kalo saya ngehitung ininya dulu baru kemudian saya ginikan sama saja kan?"
Saya: "iya hasilnya akan sama. Tapi buat apa? Pake cara ini kan boleh dan langsung ketemu. Buat apa pake ini dulu? Malah buang2 waktu kan?"
Maba: "kalo pake ini mbak?"
Saya: "kalo itu belum tentu, bisa ketemu bisa enggak. Jadi mending pake yg sudah pasti kan."
Maba: "Mbak itu buat apa kok dihitung ininya?"
saya: "iya, itu untuk mencari ini."

Percakapan semacam itu ada hampir di setiap asistensi, bahkan di satu kali asistensi saja bisa berkali-kali.
Jadi sudah tidak sama lagi. Kalo dulu waktu maba saya bisa seenaknya mengerjakan dgn cara "seingat saya", sekarang saya harus tahu saya menggunakan teorema "ini" atau definisi "itu".

Singkatnya, saya harus bisa mempertanggungjawabkan cara yg saya gunakan.
Nah itulah poin pentingnya: "pertanggungjawaban".

Kalau dalam mengerjakan kalkulus saja saya harus tahu dasarnya, harus tahu tujuannya, harus bisa mempertanggungjawabkan cara yg saya gunakan, harus efisien/tidak buang-buang waktu,
lalu bagaimana dgn hidup saya?

Dalam kalkulus ketika menjawab boleh atau tidaknya suatu cara digunakan, saya harus punya dasar yg kuat, tidak boleh menjawab hanya dgn pendapat,
lalu bagaimana dgn ketika saya memandang setiap aspek kehidupan?

Hidup untuk apa?
Melakukan ini untuk apa? mengapa? tujuannya apa? hukumnya apa? dasar(dalil) nya mana? dan sebagainya.

Terima kasih telah membaca.
Semoga bermanfaat.

Comments

  1. Kok Jarang Menulis Lagi Mbak ? Padahal Tulisannya Menurutku Cukup Bagus.

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mas mausuf, tiap ada ide nulis sering dijalari rasa malas. pas gak malas idenya sudah gak utuh lagi..
      terima kasih sudah berkunjung :)

      Delete

Post a Comment