Ranu Kumbolo Belum Berhasil, Tetap Banyak Pengalaman & Pelajaran :)

Bismillah..
Juli 2013 bertepatan dengan Ramadan 1434 H, angkatan kami arITSmatics (arek ITS Mathematics 2010) merencanakan pendakian ke Gunung Semeru.
Karena rata-rata kami masih pemula, rencana tidak sampai ke puncak (Mahameru), tetapi hanya ke Ranu Kumbolo.

Senin, 19 Agustus 2013 yang merupakan H+11 Idul Fitri merupakan hari dimulainya perjalanan.
Kami naik kereta api yang berangkat dari Gubeng lama pukul 11.00. Harga tiketnya Rp 4rb.
(Gambar 1: Tiket kereta api berangkat) 


Baru kali ini aku naik kereta api ekonomi (karena sebelumnya hanya pernah naik kereta api bisnis waktu ke Jakarta jadi panitia OMITS 2 tahun lalu). Kondisi keretanya lebih baik dari yang kubayangkan. Setengah perjalanan barulah aku sadar kalau ini kereta api ekonomi AC (AC nya terpusat). Kalau begitu lebih panas dari yang kubayangkan. Tapi secara keseluruhan cukup baik dengan ongkos murah dibanding naik bus.

Kami turun dari kereta di Stasiun Kota Baru Malang pada pukul 14.00. Sholat dhuhur di stasiun, kemudian naik len AJH rencana turun di Arjosari menjemput 2 orang temannya Nizar yang ikut, lalu naik len AT menuju Tumpang. Namun sopir len AJH tersebut menawarkan carter saja langsung sampe tumpang, setelah tawar-menawar yang cukup panjang akhirnya disepakati carter sampe Tumpang tapi tetap ke Arjosari terlebih dahulu, dengan ongkos keseluruhan Rp 100rb.

Kami tiba di Tumpang pukul 15.48 di rumah Pak Rus, orang yang punya truk untuk mengangkut pendaki ke Desa Ranu Pane.
(Gambar 2: Tumpang, depan rumah Pak Rus)

Di rumah Pak Rus, yang menemui adalah putrinya kalo gak salah namanya Mbak Ria (tahu namanya dari ceritanya Pak Sopir Truk). Mbak Ria ini semacam makelarnya, jadi penghubung antara pendaki dengan sopir truk. Mbak Ria menelepon truk. Ongkos carter truk untuk penumpang hingga 15 orang adalah Rp 450rb. Kami hanya 9 orang namun tetap harus bayar Rp 450rb tanpa nego. Mau tidak mau kami sepakat, tidak ada pilihan lain. Sayang sekali truk sebesar itu hanya diisi 9 orang, jadinya kalau dihitung mahal ongkos per orang Rp 50rb. Selagi kami menunggu truknya datang, Mbak Ria membawakan teh panas. Teh manis yang cukup kental, pokoknya enak lah untuk kondisi saat itu.

Pukul 16.20 truk datang, kami naik truk dan memulai perjalanan menuju Ranu Pane. Aku dan Nadia duduk di depan di sebelah sopir. Baru kali ini naik truk duduk depan.
 (Gambar 3: Kemudi Truk Tumpang-Ranu Pane)

Tak berapa lama kami mampir dulu di masjid Sabilul Muttaqin di daerah Kunci - Wringinanom sekitar 15 menit.
(Gambar 4 dan 5: Masjid Sabilul Muttaqin)

(Gambar 6: Depan masjid Sabilul Muttaqin)

(Gambar 7: Pertigaan dekat masjid Sabilul Muttaqin)

Kemudian perjalanan naik truk menuju Ranu Pane dilanjutkan. Aku bertanya pada Pak Sopir berapa jarak dari Tumpang ke Ranu Pane, kata beliau sekitar 30 kilometer. "Hmm cukup jauh, seperti jarak dari rumah ke ITS", pikirku.

Di perjalanan ada gapura bertuliskan "Selamat Datang di Desa Gubuk Klakah". Selanjutnya jalan semakin menanjak. Pemanangan mulai terlihat indah. Kanan kiri serba hijau pohon-pohon dan jurang.. 
 (Gambar 8: Lintasan Truk)

Subhanallah, sejak tadi rasanya nostalgia waktu dulu di MAJAPALA. Selanjutnya ada papan tulisan "Wana Wisata Coban Pelangi". Di sini nge-cek HP ternyata sinyal "tiga" dan "im-tiga" sudah tidak ada. Pukul 17.12, jalan mulai gronjalan. Jalannya plesteran tapi sudah banyak yang lubang dan tidak rata. Pukul 17.18 ada tulisan "Selamat Datang di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru". 100 meter kemudian ada tulisan "Air Terjun Coban Trisula". Kemudian kami melewati Desa Ngadas. Mulai sini banyak orang pake sarung disarungkan di badan sampai leher, mungkin fungsinya kayak syall gitu, untuk menahan dingin. Perjalanan selanjutnya menanjak dan banyak tikungan tajam. Gusti Allah, nyuwun paringi selamet..

Kami tiba di Desa Ranu Pane pukul 18.45, turun di lapangan sebelah Danau Ranu Regulo. Di sana ada parkiran motor untuk pendaki yang ke sana naik motor. (tapi dengan lintasan yang begitu, naik motor ke sana pasti sangat susah dan resiko kalo ban gembos atau bocor di tengah jalan yang kanan-kirinya hutan dan jurang). Kondisi sudah sangat dingin. Rasa-rasanya sudah sedingin di Pemondokan pencari belerang waktu ke Gunung Arjuno dulu.

Kami mendirikan tenda di Ranu Pane di dekat kantor perizinan. Di sana sudah ada beberapa tenda rombongan lain. Setelah makan, waktunya istirahat namun sulit tidur dan sering terbangun karena menggigil kedinginan. Terbangun cukup lama tidak bisa tidur lagi. Berdoa agar segera pagi, segera muncul matahari. Perut mulai terasa tidak enak. Ternyata teman-teman juga banyak yang sering terbangun dan susah tidur lagi. Aku mulai merasa perutku bermasalah. Kenapa tiba-tiba begini? Sudah lama maag tidak kambuh, kenapa harus sekarang? Kumohon jangan sekarang.... Kumohon...

Sarapan pagi aku hanya makan beberapa sendok karena mual ingin muntah. Tapi lambung terasa perih. Kemungkinan buruk sudah terjadi. Kumat penyakit sejak masa kuliah ini. Kenapa harus sekarang? Aku berangkat dalam keadaan benar-benar sehat, kenapa sekarang begini?? Aku berusaha menguatkan diri dan hati.

Setelah menunggu kantor perizinan buka dan mengurus perizinan, kami mulai melakukan pendakian. Sepertinya itu sekitar pukul 08.30. Aku sudah terdiam menahan perihnya perut, berpikir kemungkinan yang akan terjadi kalau aku lanjut dan kalau pulang sendiri.

Rasanya baru 15 menit berjalan, perutku gak bisa diajak kompromi. Dengan kecewa aku bilang ke teman-teman kalau kalo aku mau pulang saja. Aku sudah minum obat maag kemarin malam dan tadi pagi sebelum sarapan, tapi entah kenapa tidak mempan. Kalau aku pulang, aku sangat kecewa. Tapi aku gak tahu perut ini perihnya nanti akan hilang atau justru semakin parah. Kalau melanjutkan perjalanan dan ternyata tambah parah, akan lebih menyulitkanku dan teman-temanku.

Maka... aku memutuskan pulang. Kupikir ini solusi terbaik. Aku tidak ingin menyusahkan yang lainnya, biarlah aku sendiri yang gagal. Sungguh, aku kecewa... Aku sudah nabung untuk biaya pendakian ini.. Aku sudah latihan fisik setiap hari sejak lebaran.. Tapi kenapa lambung ini tiba-tiba mengacaukan segalanya... (waktu itu pengen nangis tapi malu)

Nadia dan Kentang mengantarku ke dekat pos perizinan, sementara yang lain menunggu di tempat mulainya berhenti sambil menunggu barang-barang. Di dekat pos perizinan ada mas-mas pendaki yang mau dipinjam motornya. Kentang mengantarku ke bawah (lapangan pangkalan truk, di sana ada tempat duduk). Aku menunggu rombongan lain yang akan turun ke Tumpang dan berniat ikut naik truk dengan mereka, itupun dengan catatan kalau rombongan tersebut ada perempuannya dan tampak tidak membahayakan. Tapi aku juga tahu ini masih pagi, tidak mungkin ada pendaki yang sudah turun sampe sini sepagi ini (waktu itu sekitar jam 9 pagi). Aku memasang masker wajah. Sebagai perempuan yang sendirian di tempat asing, aku lebih merasa aman kalo wajahku tidak terlihat.

Setengah jam kemudian, aku pikir kalo duduk di dekat tempat datangnya truk, aku hanya bisa menunggu truk. Padahal bisa juga menumpang pendaki yang turun naik motor, maka aku pindah duduk di depan Kantor Desa Ranu Pane. Di situ aku baca tulisan yang menyebutkan “Ranu Pane 2200 mdpl”. Jadi di sini sudah lebih dari 2000 mdpl? Pantesan sedingin ini. Kabut sesekali lewat. Aku baru ingat: TEH. Ya, mungkin penyebabnya teh. Ini salahku.. lama maag tidak kambuh aku lupa kalo teh salah satu pencetusnya, kemarin seenaknya minum teh hangat segelas lebih.

Pukul 10.00, berarti sejam sudah aku duduk menunggu di depan kantor desa sambil perut tetap perih. Aku mulai bertanya ke bapak-bapak di pos informasi dekat pangkalan truk. Karena yang menjawab bergantian (tidak hanya satu orang), jadi aku sebut saja “Orang”.
Aku: “Pak, kira-kira jam berapa ya biasanya ada rombongan turun ke Tumpang?”
Orang: “Siang mbak, di atas jam 12. Mau turun berapa orang?”
Aku: “Sendiri, Pak. Saya sakit jadi mau pulang. Teman-teman saya masih lanjut.”
Orang: “Naik ojek bisa langsung berangkat mbak.”
Aku: “Wah pasti mahal ya pak..”
Orang: “150ribu.”
Aku: “Waduh gak berani kalo segitu pak.. ya sudah saya tunggu rombongan lain saja, terima kasih pak.”
Orang: “ya mbak ditunggu aja, jam 12 ke atas biasanya.”
Selain karena mahal uangku gak cukup, aku pikir aku juga tidak berani naik ojek karena itu berarti hanya berdua dengan tukang ojek melewati beberapa lintasan yang hutan jauh dari perkampungan. Bahaya.

Karena harus menunggu sekitar 2 jam lagi, aku pindah duduk di samping kantor desa (sudah di dalam kawasan kantor desa). Tadi ada beberapa pendaki yang akan naik duduk di situ menunggu temannya, jadi aku berani duduk di situ. Aku mulai cemas, misal dari sini naik truk jam 12, tiba di Tumpang jam 2, lalu tiba di Terminal Arjosari Malang jam 3, jam berapa aku nyampe Surabaya? Bisa kemalaman. Entahlah, hanya bisa terus menerus berdoa. Allah perencana terbaik, tahu solusi terbaik..

Kantor desanya tampak sepi, tidak seperti kantor desa di Gresik dan Surabaya. Dan kelihatannya tidak begitu terawat. Di tempatku duduk lantainya banyak bercak tanah dan ada barang-barang rongsokan menumpuk. Setengah jam menunggu, berarti pukul 10.30, hawa dingin menyebabkan butuh toilet. Ada orang setengah baya yang memakai seragam coklat khas aparat desa dari tadi keluar masuk kantor desa, aku memberanikan diri bertanya.
Aku: “Pak, bisa numpang toilet sebentar? Saya sakit jadi mau pulang sendiri, nunggu rombongan lain yang mau turun naik truk.”
Pak aparat desa: “Di sana ada toilet mbak.. sebelah parkiran motor.” (sambil tangannya menunjuk tempatnya)
Aku: (gak dibolehkan, baiklah. Numpang duduk di sini aja udah untung.) “Oh agak jauh ya pak, yasudah tidak jadi.”
Pak aparat desa: “Di musholla sana juga ada.” (Sambil menunjuk musholla yang cukup dekat dari kantor desa)
Aku: “Oh musholla itu, ada toiletnya pak?”
Pak aparat desa: “iya. Ada di sana.”
Aku: “Makasi pak.”

Aku menuju musholla itu. Setelah selesai, aku kembali duduk di samping kantor desa karena menurutku di situ cukup nyaman walaupun lantainya dingin. Duduk sambil tetap kesakitan. Setengah jam kemudian atau pukul 11.00, pak aparat desa itu keluar dan ngajak omong.
Pak aparat desa: “Istirahat di tempat saya saja gimana mbak?”
Aku: “hah?” (aku kaget dan berpikir waspada)
Pak aparat desa: “Mbak kan sakit, daripada duduk di sini mending istirahat di rumah saya, dekat sini kok. Nanti kalo ada truk turun saya kasitau.”
Aku menilai ekspresi orangnya, sepertinya memang berniat baik. Penampilannya juga rapi berseragam. Lagipula di rumahnya kan ada keluarganya, mungkin ada perempuannya. Kalo gak ada ya aku nunggu truk di pinggir jalan depan rumahnya aja, pikirku.
Aku: “tidak usah, nanti merepotkan pak.”
Pak aparat desa: “tidak apa-apa, kalo di rumah kan bisa istirahat. Paling jam 1 baru ada truk pendaki yang turun. Nanti saya kasitau. Kalo pagi tadi ada truk sayur, tapi sekarang sudah gak ada.”
Aku: “kalo gitu iya gakpapa pak.”
Pak aparat desa mengunci kantor dan menyalakan motor. Lho ke rumahnya naik motor? Waduh tak kira jalan kaki dekat sini. Tapi aku merasa orang itu tidak berniat jahat jadi aku tetap naik. Aku juga tetap akan waspada. Di jalan aku bertanya kok kantornya ditinggal, kata orangnya gakpapa toh sudah mau jam istirahat.

Sekitar 500 meter tiba di rumahnya. Aku duduk di lantai pinggir terasnya. Orangnya mengambil kunci pintu belakang rumah yang diselipkan di atap, lalu dari dalam membuka pintu depan.
Pak aparat desa: “ternyata ibuk masih di kebun. Tapi masuk gakpapa mbak istirahat di dalam.”
Aku: “gak usah pak, saya nunggu truk di sini aja. Sudah mendingan kok gak sedingin di sana tadi.”
Aku jelas gak mau lah masuk tanpa ada keluarganya. Orangnya juga gak memaksa, sepertinya paham alasanku gak mau. Lalu orangnya mengamati jalan menge-cek kendaraan-kendaraan yang lewat. Pada saat itu ada truk lewat dan Pak aparat desa itu teriak memanggil sopirnya, sepertinya kenal. Truk berhenti agak jauh (butuh jarak kan buat nge-rem tiba-tiba) dan Pak aparat desa berlari mendekati sopirnya. Aku memasang telinga tajam-tajam mendengar pembicaraan mereka. Intinya Pak aparat desa menjelaskan kalo aku sakit butuh tumpangan ke Tumpang untuk pulang ke Surabaya, tapi diturunkan di Gubuk Klakah saja tidak apa-apa karena di sana sudah ada taksi. Aku membatin, taksi?? Lalu pak aparat desa berjalan ke arahku.
Pak aparat desa: “bisa naik truk itu mbak. Sudah saya bilangkan ke sopirnya. Itu truk pengangkut buruh kebun, berhentinya di Desa Gubuk Klakah. Nanti mbak bisa cari angkutan umum dari sana.”
Aku: “iya terima kasih banyak pak.” (aku mulai terkesan dan merasa terbantu) “Oh ya Bapak namanya siapa?”
Pak aparat desa: “hah?” (suaraku memang sering kurang jelas karena pake masker)
Aku: “Bapak namanya siapa?”
Pak aparat desa: “Sleman” (atau mungkin “Sulaiman”, jawabannya terlalu cepat jadi kurang jelas).
Karena truk menunggu jadi aku harus cepat, tidak bertanya lagi. Anggap saja nama beliau Pak Sulaiman, orang aparat desa yang baik hati membantu tanpa minta imbalan.
Aku: “Oh. Makasi pak.”
Pak aparat desa: “sama-sama mbak, kalo ke sini lagi dan mau mampir silakan.”

Aku menuju truk. Dalam hati berpikir, masih ada orang baik seperti Pak Sulaiman. Semoga Allah membalas kebaikan beliau. Orang yang memudahkan urusan orang lain maka Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat kan?

*** single traveler? ***

Di truk itu di bangku sebelah sopir berisi 3 orang ibu-ibu setengah baya yang dari penampilannya sudah terlihat kalo buruh kebun. 2 orang pindah ke belakang (ternyata di belakang ada beberapa ibu-ibu lagi) dan aku dipersilakan untuk duduk di depan. Sepanjang perjalanan aku, pak sopir truk, dan ibu-ibu di sebelahku ngobrol dan diskusi banyak. Mulai dari aku bertanya mereka dari mana ke mana, lalu mereka menjelaskan tentang sayuran yang dibawa ke gudang di Gubuh Klakah lalu diangkut ke pabrik di Malang, tentang Gunung Semeru, tentang Desa Ranu Pane, tentang perbedaan orang kota dibanding orang pegunungan yang sehat dan kuat sampai tua, hingga tentang dampak teknologi. Pak sopir truk ini katanya dulu pernah kerja di Surabaya jadi tahu ITS dan tahu banyak tentang Surabaya. Beliau rumahnya dekat kebun teh Wonosari – Malang, hanya berjarak sekitar 700 meter dari kebun teh tersebut. Ibu-ibu di sebelahku kalo bicara ke pak sopir pake bahasa jawa alus, begitu juga pak sopir ke ibu-ibu itu. Jadi kadang aku juga terbawa ikut-ikutan pake bahasa jawa alus walau belepotan campur bahasa jawa kasar, hehe.. Di perjalanan, truk beberapa kali berhenti dan beberapa buruh kebun naik, mereka semua perempuan. Jadi, truk ini adalah truk antar jemput buruh kebun milik sebuah pabrik di Malang. Pak sopir truk mengatakan kalo aku nanti tidak perlu turun di Gubuk Klakah, tapi turun di jalan raya yang ada angkutannya ke Surabaya saja, aku mengiyakan.

Sejam kemudian tiba di Desa Gubuk Klakah, para buruh kebun turun. Pak sopir truk menjelaskan kalo di situ (sambil menunjuk sebuah bangunan) gudang penyimpanan milik pabrik. Beliau juga menjelaskan tentang sayuran mahal yang bibitnya import dari negara mana gitu, aku lupa, juga lupa nama sayurnya yang asing di telinga.

Truk terus melaju. Aku dan pak sopir ngobrol banyak. Beliau ini termasuk orang yang wawasannya luas karena sebagai sopir pernah keliling Jawa. Beliau ramah dan cenderung mendominasi pembicaraan tanpa menunggu tanggapan, jadi seringkali aku hanya mendengarakan. Melanjutkan obrolan sejak tadi yang mengalir terus topiknya, sampe bahas Pilgub Jatim dan politik yang dari sini aku paham kalo beliau sangat mendukung partai merah (aku hanya mendengarkan tanpa berkomentar), hingga topik ke masalah pendidikan. Beliau juga cerita kalau punya anak empat, sudah kerja semua tidak ada yang kuliah dan sebagainya. Pokoknya banyak sekali yang dibahas. Kalau dilihat sekilas, nampak menyeramkan naik truk hanya berdua dengan sopirnya dengan perjalanan yang kadang jalannya sepi tidak ada pemukiman. Aku hanya terus-menerus berdoa dalam hati dan sepertinya Allah memang mempertemukanku dengan orang-orang baik. Alhamdulillah..

Aku pernah kagum pada perempuan-perempuan yang berani menjadi "single traveler" yang kubaca di buku-buku. Dan ternyata ini kedua kalinya aku mengalaminya karena terpaksa (yang pertama waktu pengalaman pertama naik kereta api sekaligus pengalaman pertama ke Jakarta sendirian karena ketinggalan kereta). Kali ini sambil menahan perut yang perihnya timbul hilang terus-menerus. Sesekali minum air mineral untuk mengurangi perihnya.

Menjelang pukul 14.00 truk berada di jalan raya utama Surabaya-Malang. Tidak lewat Terminal Arjosari karena kata Pak Sopir Truk jalan di sana sering macet jam segitu. Aku tanya ke Pak Sopir Truk apa nunggu bus di jalan ini sudah bisa, kata beliau bisa dan nanti di depan ada halte, aku bisa turun dan nunggu bus di sana. Tapi sebelum itu ada SPBU dan aku minta turun saja, karena butuh toilet. Akhirnya aku turun dan berterima kasih pada Pak Sopir Truk yang sangat baik hati itu. (Aku ke toilet SPBU buat ganti baju. Terlalu mencolok kalau naik bus oper-oper sendirian memakai celana training warna merah dan baju kotor banyak bercak hitam tanah.)

Berdiri menunggu bus di pinggir jalan sambil menahan sakit perut, terasa sangat lama. Pukul 14.12 akhirnya ada bus bertuliskan Surabaya-Malang. Aku melambaikan tangan dan naik. Ini juga pertama kalinya naik bus antar kota sendirian. Sebenarnya aku berharap naik bus yang turun di Terminal Osowilangon, tapi ternyata bus yang kunaiki turun di Bungurasih. Tidak apa-apa nanti oper bus, pikirku. Ongkos naik busnya Rp 12rb.
(Gambar 9: Karcis bus Malang-Surabaya)

Di sini masih bingung antara pulang ke kos atau rumah (antara oper bus ke Bratang atau Wilangon). Tapi kalau di kos nanti susah cari makan dengan perut sudah kayak gini perihnya, akhirnya memutuskan ke rumah saja.

Pukul 16.00 sampai di Terminal Purabaya (Bungurasih). Sebenarnya aku bingung dengan terminal ini karena gedee dan tidak terbiasa. Tapi untunglah waktu itu cukup mudah memahami papan petunjuk yang ada di sana. Naik bus jurusan Bungurasih-Wilangon, rencana turun di Romokalisari (perbatasan Gresik-Surabaya). Ongkos naik bus ini Rp 6rb.Tepat adzan maghrib bus sampai di Romokalisari dan aku turun.

Nunggu len SG (Surabaya-Gresik) agak lama padahal biasanya ada banyak. Setelah ada len SG, aku naik dan turun di perempatan Kebomas. Ongkosnya aku bayar ke sopirnya Rp 3rb karena aku pikir tidak begitu jauh. Selanjutnya naik ojek dari perempatan Kebomas ke rumah yang berjarak 1 kilometer, ongkosnya Rp 3rb.
Alhamdulillah.. menjelang isya tiba di rumah dan bisa mulai "merawat" lambung yang mungkin ini sudah iritasi sehingga obat tidak mempan.

***

Sekilas perjalananku ke Ranu Kumbolo memang gagal, namun dalam prosesnya tetap banyak pengalaman baru dan pelajaran berharga yang kuperoleh. Pengalaman bermalam di Ranu Pane, pengalaman menumpang truk, pengalaman “survival” berusaha tetap kuat pulang sampai rumah. Semua ini pasti sudah skenarioNya.

Aku harus mulai sadar bahwa aku tak lagi sama. Ada banyak hal yang mulai kumiliki sejak masa kuliah yang dulunya tidak, namun ada pula hal-hal yang kumiliki ketika SMA dan kini tidak (dalam hal ini contohnya adalah kekuatan lambung).
Tetap bersyukur, tidak menuntut semuanya. Dia memberi apa yang kubutuhkan, bukan apa yang kuinginkan.
Alhamdulilah..

***

Buat Nadia yang sudah seperti sosok ibu bagi kami ketika di sana, Khoir ketua rombongan, Badari dan Nizar yang sudah minjemi uang untuk ongkos pulang, Gusti yang semangat membantu Nadia, Kentang yang sudah mengantar ke lapangan pangkalan truk, Felly dan Dina teman baru yang menyenangkan. Terima kasih semuanya, bagaimana dengan cerita kalian di Ranu Kumbolo? :D

Comments