Pedagang, Kakek, dan Pertanggungjawaban


(Sekarang yang dicetak boarding pass, bukan tiket yang tebal seperti dulu).

Pagi ini berangkat pukul 05.30 WIB dari rumah. Diantar sampai Sentolang, lalu naik len PTG (Pasar Turi-Gresik).

Di dalam len sudah ada seorang ibu-ibu. Sampai Terminal Osowilangon, ada 3 orang laki-laki paruh baya "bakulan" yang naik, nampaknya mereka baru turun dari bus lalu oper len, hendak menuju Pasar Turi.

Laki-laki pertama dan kedua masing-masing membawa 2 buah keranjang bundar yang biasanya dibawa oleh penjual keliling tahu asin, telur puyuh, permen, dsb. Lelaki yang ketiga berperawakan kecil, ramah, dan 'Jawa banget', membawa 3 buntelan kain, yang 2 di antaranya dapat disambungkan menggunakan kayu, digendong (atau dijinjing?) di atas bahu. Terkadang mereka ngobrol sedikit-sedikit. Sambil berbincang dengan ibu-ibu di len (yang duduk di depanku), sesekali aku mengamati. Mataku berkaca-kaca (aaah melankolis kumat wkwk). Lelaki yang ketiga itu mengingatkanku pada kakek (dari ibu). Lebih tepatnya..... visualisasi yang aku bayangkan sejak kecil tentang kakek.

Aku tidak pernah kenal kakek. Kakek dari ibu meninggal saat aku belum disapih (belum umur 2 tahun), jelas aku tidak ingat. Ibu bilang saat kakek sakit sebelum meninggal, ibu tidak bisa sering menemani beliau karena saat itu aku sedang rewel (aah maafkan aku, Kakek..). Sedangkan kakek dari bapak bahkan sudah meninggal sebelum kakak kedua lahir. Yaah namanya manusia, kadang kalau melihat interaksi kakek dengan cucunya, ada pikiran seperti apa yaa kakek kalau kenal aku. Tapi tidak punya kakek bukan suatu hal untuk disesali, ada banyak anak yang bahkan tidak sempat mengenal ayahnya, atau kedua orang tuanya.

Aku tidak pernah kenal kakek secara langsung, hanya dari cerita-cerita ibuku. Konon, mata pencaharian kakek adalah berdagang. Hidup sederhana. Berjualan pakaian dan peralatan lainnya dari satu kota ke kota lainnya, membawa buntelan-buntelan yang digendong di bahu, istilah Jawanya "mbangkel" (atau itu istilah dalam boso ngGresik-an? Entahlah). Beliau pulang mungkin dua minggu sekali.

Beliau sosok pekerja keras, jujur (selalu menanamkan pemahaman tentang sebiji kurma yang tidak halal maka sholat tidak diterima 40 hari), sayang keluarga, saat pulang tidak menuntut dilayani malah membantu pekerjaan rumah karena paham kerepotan seorang istri mengurus rumah dan anak-anak, dan yang paling penting selalu menjaga sholat. Ketika sedang tidak "dinas", beliau biasa menjadi imam di langgar/surau dekat rumah (yang dari situ perjodohan ibu dengan bapak, mungkin suatu hari aku akan menulis tentang itu). Di hari-hari tua, beliau sudah tidak berdagang jauh-jauh lagi.

Itu dulu....
Hari ini, sudah puluhan tahun dari masa kakek berdagang, eh masih ada (bahkan banyak) orang-orang "mbangkel". Berjuang mencari nafkah dengan berjualan membawa buntelan barang-barang. Berangkat pagi-pagi sekali, siang kepanasan, pulang sudah petang, penghasilan tak pasti, tidak ada jaminan kesehatan apalagi dana pensiun.
Masih banyak orang-orang yang harus bersusah payah hanya demi sepiring nasi dan sebongkah berlian.
Masihkah yang karyawan mengeluh?
Masihkah kita mengeluh?
Masihkah aku mengeluh?

Di masa kini saat pendidikan sudah jauh lebih terjangkau dibanding zaman dulu, anak-anak diberikan pendidikan setinggi-tingginya, mayoritas agar kelak hidup 'lebih layak' dari orang tuanya. 
Setelah itu bekerja, menikah, hidup mapan, lalu apa?

Apa yang bisa kita lakukan?
Apa yang bisa aku lakukan?



Apakah berlomba-lomba mengejar materi dan gengsi, untuk kesenangan semu yang tak akan dibawa mati. Atau berlomba-lomba ibadah mahal, haji/umroh berkali-kali, tidak merasa ada urusan apakah orang-orang sekitarnya bisa makan hari ini.

Kelak semuanya akan dimintai pertanggungjawabkan. Diri kita, keluarga kita, harta kita, ilmu kita, dan waktu kita. Sekecil apapun itu.
Siapkah kita?
Siapkah aku?

Stasiun Pasar Turi Surabaya.
Sabtu, 27 Agustus 2016.

Comments