Tentang Seorang Sahabat Masa Kecil Bernama Erna

Aku sudah lama berencana menulis ini. Ketika sedang tidak bisa tidur, aku beberapa kali memikirkannya. Akhirnya aku memutuskan menulis ini sekarang, mungkin untuk melegakan diriku sendiri karena apa yang tersimpan di pikiranku telah tersurat, atau mungkin juga Allah punya rencana. Entahlah..

Nama panggilannya Erna. Ia adalah teman sekelas saat aku sekolah di MI (setara SD). Kami teman akrab. Rata-rata kami sekelas memang akrab bahkan kami kenal dengan kakak dan adik kelas, karena sekolah kami termasuk sekolah baru di desa. Kami angkatan ke-3 dengan jumlah kurang dari 15 murid.

Selain kawan di MI, Erna juga merupakan kawan di sekolah ngaji (TPQ). Aku masih ingat waktu itu kelas 2 MI, kami juga sekelas di TPQ. Ada keterbatasan jumlah kelas di TPQ sehingga terdapat 2 shift pengajaran yaitu kelas siang jam 2 dan kelas sore jam 4. Kami sekelas di kelas siang, dengan bimbingan Bu Khus yang juga merupakan guru kami di MI.
Aku masih ingat rutinitas kami di TPQ. Beli aneka jajan yang ada di sekitaran TPQ. Kesukaanku biting-bitingan (snack lidi), es gabus, dan es gudir (agar-agar). Aku juga ingat dulu pernah kesal sekali saat Bapak Penjual Es Gudir mengurangi takaran. Saat itu dalam hati aku anggap beliau pelit lah apalah, ah padahal mungkin saja harga bahan bakunya memang naik. Sudah lama aku tidak tahu keberadaan Bapak itu, apakah beliau masih sehat, apakah beliau masih hidup? Entahlah. Maafkan aku yang masih bocah kelas 2 SD itu, Pak.

Kami sebagian anak-anak kelas siang suka datang lebih awal di TPQ. Kelas dimulai jam 2 tapi biasanya jam 1 kami sudah tiba. Bukan karena kami terlalu rajin dan semangat mengaji, tapi karena bagi kami, kelas dan area sekitar TPQ adalah wahana bermain yang membahagiakan. Bersama mayoritas kawan sekelas, kami bermain mulai dari kejar-kejaran sampe lompat-lompat bangku, lompat pagar, sembunyi-sembunyian sampe menyusun bangku-bangku menjadi tempat sembunyi, jelipan, loncat tali, main bekel baik bekel beneran maupun pakai uang logam (entah tak punya uang untuk beli bekel atau bagaimana ya saat itu wkwk). Gaduh dan bahagia. Kalian tahu jelipan? Ada satu pemain sebagai ‘terhukum’. Terhukum ini harus mengejar pemain lain sampai berhasil menepuk salah satu pemain. Pemain lain harus berlari agar tidak ditepuk terhukum atau jika terdesak, pemain lain menempelkan ibu jari di bibir sambil berkata “jelip” lalu mematung. Terhukum tidak boleh menepuk pemain yang sedang dalam posisi “jelip”. Jika terhukum sudah pergi untuk mengejar pemain yang lainnya, pemain yang tadi bisa melepaskan posisi “jelip”-nya dan bisa bergerak bebas kembali. Pemain yang kena tepukan terhukum maka dia akan menggantikan peran sebagai terhukum. Apakah familiar? Apakah di kota kalian juga ada permainan itu?

Kembali tentang Erna, kadang kami juga bercanda bersama, berbisik-bisik, cekikikan, atau dia melakukan ‘atraksi’. Dia punya badan yang lentur, dengan posisi tengkurap dia bisa mengaitkan telapak kakinya ke pundaknya. Aku yang saat itu belum tahu balet ataupun atlet bertubuh lentur, melongo heran bercampur takjub.

Aku masih ingat dia bisa membuat bajunya sendiri tanpa mesin jahit, hanya menyulam menggunakan jarum, benang, dan gunting.

Dia sahabat baikku waktu itu. Tapi kemudian, kelas 4 atau 5 SD dia keluar dari sekolah. Kami kawan-kawan sekelasnya selama ini hanya tahu kalau dia tinggal di warung penjual soto yang terkenal di daerah kami. Aku tidak ingat apakah mereka orang tua kandungnya atau bukan. Aku hanya ingat, kami mendapat info dari Ibu penjual soto bahwa dia pindah ke Lamongan. Dalam benak kami anak-anak SD dengan jangkauan main hanya di desa, kami membayangkan bahwa Lamongan itu kota yang jauuuuh tak terjangkau.

Bulan berganti, kami kawan-kawannya ingin tahu kabar Erna. Kami bertanya ke Ibu penjual soto kabarnya sekaligus minta nomor telepon yang bisa dihubungi jika ingin berbicara dengan Erna. Kami pergi ke wartel (warung telepon), melakukan panggilan interlokal dengan layar penunjuk biaya yang setiap beberapa detik seperti serangan jantung kecil bagi kami, mencekik kantong anak SD. Aku tidak ingat apakah kami berhasil berbicara denganya saat itu, sepertinya tidak karena seingatku ketika sampai di rumah aku bercerita ke keluargaku dengan perasaan kecewa.

Tak berapa lama kemudian, warung soto itu tutup. Penjualnya pindah entah ke mana.

Selanjutnya aku tidak ingat apakah kami (atau aku?) yang mulai melupakan Erna ataukah kami semakin kesulitan menghubunginya.

Waktu berlalu. Saat SMA mulai kenal Facebook, aku pernah mencoba mencarinya, mengetikkan namanya. Tidak ketemu. Tidak akan mudah, apalagi pada masa itu jarang orang menggunakan nama asli.

Hingga saat ini ketika banyak orang menggunakan nama asli di media sosial, aku tidak berhasil menemukannya. Aku tidak punya foto yang di dalamnya ada dia. Kamera adalah barang mewah dan langka pada waktu itu. Jadi aku juga tidak ingat wajahnya, terlalu lama, hanya samar-samar.

***

Nama lengkapnya Agustina Ernawati. Kami sama-sama lahir di Bulan Agustus. Aku betul-betul ingin tahu kabarnya, berharap dia baik-baik saja, berharap dia bahagia. Terima kasih untuk masa kecil yang begitu berwarna.

RM @ Kel Paseban, Kec Senen, Jakarta Pusat.



----UPDATE 11 Oktober 2016----

Setelah pasang cuplikan dan tautan tulisan ini di status FB, akhirnya dari komen teman bisa terhubung dengan FB Erna dan bisa menyambung silaturahmi kembali. Alhamdulillah.. Erna tinggal di Lamongan dan baik-baik saja. Semoga suatu saat bisa berjumpa.

Comments